Peran Gus Dur Bikin Hari Raya Imlek Jadi Libur Nasional

Logo Tempo
Medcom News, Jakarta Tahun ini Hari Raya Imlek jatuh pada Rabu, 29 Januari mendatang. Seperti pada perayaan Tahun Baru Cina sebelum-sebelumnya, pemerintah telah menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. Kemeriahan penyambutan datangnya tahun Ular Kayu pun telah terlihat di mana-mana.

Read More

Dulu, di era Soeharto, Hari Raya Imlek tidak ditandai dengan warna merah di kalender. Jangankan libur nasional, masyarakat Tionghoa di Indonesia kala itu bahkan dilarang merayakannya di tempat-tempat umum. Kini, sejak 9 April 2001, perayaan Imlek menjadi libur nasional dan bebas dirayakan berkat Abdurahman Wahid alias Gus Dur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semasa pemerintahan Orde Baru, budaya Tionghoa tak dapat tempat, mulai dari penutupan sekolah berbahasa Cina, pelarangan memutar lagu Mandarin, hingga penggunaan huruf Cina. Puncaknya, ketika Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang Larangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina diterbitkan oleh Pemerintah.

Ketika Reformasi 1998 bergulir, masa-masa suram itu perlahan sirna. Aturan-aturan diskriminatif komunitas Tionghoa pun mulai dicabut. Keterbukaan semakin menguat terutama di bawah kepemimpinan Gus Dur. Masyarakat Tionghoa mulai merasakan inklusifitas yang nyata sebab Presiden ke-4 RI itu secara terbuka membela mereka dengan mengenalkan konsep kebangsaan.
Dinukil dari buku Etnis Tionghoa Nasionalisme Indonesia oleh Leo Suryadinata, menurut Gus Dur, tidak ada istilah keturunan masyarakat asli Indonesia. Pemisahan pribumi dan non pribumi adalah kekeliruan yang membuat masyarakat Tionghoa terkecualikan. Sejatinya, bangsa Indonesia terbentuk atas tiga ras, yakni Melayu, Astro-Nesia, dan Cina. Bahkan, Gus Dur menyatakan dirinya merupakan keturunan percampuran Cina-Arab.

Konsep kebangsaan yang diperkenalkan Gus Dur kemudian dilanjutkan dengan pencabutan Inpres Nomor 14 tahun 1967 tersebut. Setelah itu, ia juga mengeluarkan Ketetapan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Keppres inilah yang menjadi pintu umat Konghucu di Indonesia memeroleh kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka.
Setelah mencabut Inpres rasis dan mengeluarkan Keppres tentang kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa, Gus Dur kemudian juga menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakannya, berdasarkan Keputusan Nomor 13 tahun 2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Beleid diteken 9 April tahun itu.
Dikutip dari Nu.or.id, ada pertimbangan khusus yang menjadi alasan Gus Dur menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. Peneliti Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanities (AWCPH) Universitas Indonesia, Abdul Aziz Wahid, mengatakan pertimbangan utama Gus Dur dalam membuat keputusan revolusioner itu adalah maqasid syariah (tujuan diterapkannya syariat).
“Gus Dur dari dulu lebih mengedepankan segi kemanusiaannya, bukan hanya semata segi formalistis kaidah-kaidah keagamaan Islamnya saja, kaidah fiqihnya saja. Maqasidus syariahnya dikedepankan,” kata Gus Aziz, sapaan akrabnya Ahad, 3 Februari 2019.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *